Dear Mahameru, I'll never give up on you.

by - 10:52 PM


Masih menuju akhir bulan September yang ceria. Saya kedatangan teman-teman Couchsurfing dari Norwegia. Kami sudah saling kontak sebelumnya dan akan sama-sama tiba di Malang pada hari Senin, setelah saya pulang dari Menjangan. Sesuai rencana, keesokan harinya (Selasa, 30 September 2014) kami akan pergi mendaki Gunung Semeru.

Agustus tahun lalu, saya pernah berangkat ke Semeru. Hanya saja, karena kurang persiapan saya tidak melanjutkan sampai ke puncak. Saya anggap itu hutang yang harus saya bayar jika ada kesempatan. Saat Kristian, Sondra, dan Rholf menghubungi saya tentang rencananya untuk mendaki Gunung Semeru, saya rasa ini waktunya 'bayar hutang'.

Karena teman-teman saya tidak punya banyak waktu, kami rencanakan pendakian selama dua hari di Semeru plus Bromo pada hari ketiga. Awalnya, kami berencana pergi dengan menggunakan motor, tapi karena saya masih jetlag dan segala pertimbangan yang ada, kami putuskan untuk pergi dengan jeep. Setelah mempersiapkan segala keperluan untuk 2 hari kedepan, kami berangkat berlima pagi itu, dengan tambahan teman saya Firman yang membantu mengendarai jeep untuk kami semua.



Tidak jauh, hanya butuh waktu kurang lebih 4 jam dari Malang sampai kami tiba di Ranu Pane, desa terakhir yang sekaligus jadi starting point pendakian Semeru. Jalan menuju kesana juga sudah jauh lebih baik dibandingkan tahun lalu, hanya sedikit saja yang berlubang dan rusak. Bulan high seasson pendakian, bulan Agustus sudah lewat, pas sekali. Tenang dan tidak begitu ramai. For your information, jangan lupa menyiapkan surat keterangan sehat dari dokter sebegai salah satu prosedur yang harus dipenuhi sebelum pendakian. Selain itu, per 1 Oktober 2014 ada perubahan tarif tiket masuk Taman Nasional Semeru. Hitungannya sudah perhari. Seperti saya, untuk total 2 hari pendakian dikenakan biaya tiket dikalikan 2 hari. Lumayan juga ya. Hehehe




Sampai di Ranu Pane, kami mempersiapkan segala keperluan serta menyelesaikan berebagai prosedur pendakian. Kami mulai naik tepat pukul 11.00 WIB dengan terik matahari yang hampir berada tepat diatas kepala.


Tentu saja saya pilih berjalan pelan-pelan, jauh dibelakang para laki-laki yang jalannya sangat cepat. Jelas tujuan saya dari awal, saya mau sampai puncak. Saya tahu saya tidak dalam keadaan 100% fit setelah beberapa hari sebelumnya non stop perjalanan dari Malang - Bali - Malang lagi dan langsung berangkat kesini. Jadi lebih baik saya hemat tenaga dan jalan pelan-pelan saja, tidak perlu memaksakan diri.

Perjalanan berjalan lancar, kami sepakat bertemu di Ranu Kumbolo saja karena tidak mungkin saya mengejar mereka yang langkahnya 3x lebih cepat dari langkah saya. Saya tahu, dari Ranu Pane ke Ranu Kumbolo hanyalah pemanasan dari pemanasan ke puncak. Tidak ada kesulitan yang begitu berarti sepanjang perjalanan melewati 4 pos hingga ke Ranu Kumbolo. Musim kemarau panjang membuat sepanjang jalan penuh debu dan sangat kering. Sebaiknya jangan lupa memakai masker saat pendakian.

Beberapa pos pemberhentian terlihat berbeda dari tahun lalu. Bedanya, sekarang mereka menyediakan snack, air mineral, dan semangka favorit saya. Capek terobati dong dengan semangka. Hehehe. Saya berhenti beberapa menit di pos untuk mengatur nafas, kemudian lanjut jalan lagi.










Saya sampai di Ranu Kumbolo kira-kira pukul 14.30 WIB, 25 menit lebih lambat dari yang lain. Kami berhenti dulu disana untuk makan siang. Saat transit, saya bertemu dengan beberapa orang dan ngobrol dengan mereka. Ketika saya bilang bahwa saya akan ke summit dan langsung turun keesokan harinya, hampir semua pesimis terhadap saya. Mereka bilang, saya bukan bule dan fisik saya nggak meyakinkan untuk bisa jalan sampai ke puncak. Mendaki puncak gunung bukan soal iseng. Bahkan menurut mereka, beberapa waktu yang lalu pengunjung yang biasa mendaki pun menyerah dengan beratnya medan Semeru saat kemarau panjang begini. Ya, saya mikir-mikir juga sih akhirnya..

Makin saya pikir, makin saya di-pesimis-kan, makin saya yakin kalau saya punya kesempatan. Pikir saya, kalau saya memang niat setengah-setengah, lebih baik saya tadi tinggal dirumah saja. Saya pasti do the best untuk sampai summit. Meskipun jalan pelan-pelan, tapi saya mau coba dulu sekuatnya. Pernah dengar orang bijak berkata "if there is a will, there is a way" ? So, I'll go and find my way.

Okelah, saya lanjut jalan lagi. Sebelum gelap, saya harus sampai di Kalimati untuk istirahat dan bermalam disana. Sempat coba naik tanjakan cinta tanpa menoleh kebelakang? Saya coba sih, tapi bukan untuk membuktikan mitos, toh saya nggak punya pacar. Hiks. Teman-teman bule saya justru lebih gila karena mereka melewati tanjakan itu dengan berlari. Nggak paham deh tenaganya bisa awet tanpa capek begitu.

Yang lain jalan, saya masih nyantai dan sempet selfie dulu.

Setelah tanjakan cinta, saya melewati padang rumput yang luas sekali namanya Oro-oro Ombo. Saat musim hujan, biasanya banyak tumbuh lavender. Karena ini musim kemarau panjang, yang saya temukan hanya rumput dan alang-alang kering. Tapi okelah, jalannya flat hampir tanpa tanjakan, dengan begitu saya bisa jalan lebih cepat.

Saat mulai menemukan pohon-pohon cemara, saat itulah saya mulai masuk di Cemoro Kandang. Kurang lebih sekitar 5 km lagi untuk sampai di pos Kalimati. Jalannya menanjak dan berdebu, untungnya hari sudah menjelang sore saat itu. Diantara Cemoro Kandang dan Kalimati, ada pos Jambangan. Saat sudah memasuki Jambangan, kita sudah bisa melihat gunung Semeru.

Saya sampai di Kalimati saat hari sudah gelap, sekitar jam 17.30 WIB. Tidak banyak aktifitas yang saya kerjakan, hanya makan lalu persiapan istirahat ditenda. Suhu saat itu tidak terlalu dingin, kira-kira 7°C (tetap berhasil membuat saya kedinginan sih). Lelah sekali hingga setelah makan malam saya langsung tidur.






Kebanyakan pengunjung akan mulai mendaki ke puncak pada jam 24.00 WIB. Jika diukur dari jarak, hanya tinggal 3,7 km lagi. Tapi inilah Semeru yang sebenarnya, jarak yang hanya bisa diukur dari seberapa mampu kita berjalan.

Daaaan .. perjuangan sebenarnya dimulai saat saya bangun dini hari, sekitar pukul 01.30 WIB (agak kesiangan sih sebenarnya). 20 menit untuk bersiap-siap dan saya akhirnya berangkat jam 01.50 bersama dengan Kristian, Sondra, Rohfl, dan guide kami. Teman saya yang satu lagi terpaksa harus tinggal di camp karena hypotermia.

Lagi-lagi guide dan beberapa orang mengingatkan saya untuk stay saja karena medannya berat. Tapi saya bilang, saya akan jalan pelan-pelan, saya masih punya semangat. Agak sedih juga, tapi itu justru jadi motivasi buat saya.

Ternyata memang medan terakhir ini jauh lebih berat dibandingkan sebelumnya. Tanjakan yang cukup tajam dengan debu yang luar biasa akan sangat melelahkan untuk dilewati. Saya sampai di Arcopodo sekitar 30 menit setelah berangkat. Saya pikir, saya akan segera menemukan jalan datar atau turunan beberapa menit kedepan. Berita buruknya, jalan akan terus menanjak dan semakin sulit hingga ke puncak. Teman-teman terlalu cepat dan saya tertinggal dibelakang sendirian. Memang lebih baik bertemu di puncak daripada mereka harus mengikuti ritme saya yang lambat atau saya yang mengikuti ritme mereka yang cepat. Sebaiknya tinggalkan semua barang yang tidak perlu dibawa di tenda, bawalah air secukupnya dan mungkin kamera atau barang yang diperlukan.



Semakin ingin naik, semakin dibuatnya turun. Melangkah ke atas dua langkah, kemudian dibawa debu dan kerikil turun satu langkah. Percayalah, itu yang membuat banyak orang ingin menyerah saja. Menjelang pagi saat matahari mulai menampakkan diri, bayangan summit pun mulai terlihat dari tempat saya berpijak. Terlihat tidak begitu jauh, tapi lebih baik tidak bertanya seberapa lagi jarak yang harus kita tempuh.




Bertemu dengan banyak pendaki yang juga akan ke puncak membuat saya tidak merasa benar-benar naik sendirian. Teman-teman saya yang lain mungkin sudah berada dipuncak saat gelap mulai dimakan matahari. Saat itu saya masih berusaha menyemangati diri untuk tidak menyerah. Banyak teman-teman yang akhirnya berhenti dan menyerah ditengah jalan karena sudah lelah dan patah semangat. Saya jalan terus, pelan-pelan, kadang berhenti sebentar lalu jalan lagi. Begitu ingin menyerah, saya melihat kebelakang saya dan melihat bahwa terlalu jauh saya berjalan jika ingin menyerah sekarang. Toh saya sebenarnya masih bisa berjalan, tinggal semangatnya saja yang tetap harus menyala terus. Karenanya, saya terus berusaha menyemangati diri sendiri, sesekali menyemangati teman-teman pendaki yang sudah kelihatan akan menyerah.

Bayangkan apa yang bisa kita lihat saat sampai di Mahameru, jangan berhenti dulu, turun pun terlalu jauh untuk perjuanganmu. Bagian paling berat adalah memanipulasi dan memotivasi diri kita sendiri. Kuncinya adalah sabar dan semangat. Sampai di puncak tidak bisa dilakukan dalam sekedipan mata. Pasti butuh proses sesuai dengan kemampuan kita. Tidak perlu memaksakan diri untuk segera sampai diatas, pelan-pelan saja. Sepelan saya yang akhirnya sampai jam 07.00 WIB diatas puncak Mahameru. Praise God!

I did it! 

Landscape Mahameru





Oh, ini toh puncak gunung berapi tertinggi di Jawa. Saya cuma bisa tersenyum saat sampai dipuncak Mahameru, atap Pulau Jawa. Tingginya 3.676 mpdl dan akhirnya saya berdiri diatasnya. Inilah seninya naik gunung, bahagia setelah sengasara, surga setelah neraka. Hehehe. Saat melihat kebawah, kita akan melihat bukit-bukit, savana Oro-oro Dowo, bahkan bisa melihat Gunung Bromo. Perfect!

Tidak lama saya diatas, hanya menikmati selama beberapa saat dan ambil gambar secukupnya lalu saya turun. Ah, bingung juga bagaimana caranya turun saat melihat medannya dari atas. Turun lebih mudah dan tidak begitu melelahkan, hanya saja berbahaya karena sangat merosot.




Kurang lebih dua jam kemudian, saya sampai di Kalimati lagi. Sebentar saja beristirahat dan mengemasi barang-barang untuk pulang. Saat terang, kita bisa melihat Mahameru dari camp ground.




Jika saat berangkat saya butuh waktu sekitar 7 jam untuk sampai di Kalimati, maka saat pulang saya hanya butuh waktu sekitar 4 jam hingga tiba kembali di Ranu Pane. Tentu saja karena jalannya sebagian besar turunan. Kami tiba saat hari menuju sore dan bermalam di homestay desa terdekat untuk melanjutkan perjalanan ke Bromo dini hari besok.

Senang sekali akhirnya saya berhasil menjaga semangat saya hingga ke puncak Mahameru. Sekalipun capek, berat, panas, berdebu, tapi semua terbayar lunas. Naik gunung analoginya seperti rasa pedas lombok. Meskipun tahu makan lombok akan membuat mulut kita panas karena pedas, tapi tidak pernah kapok. Demikian juga naik gunung, meskipun effort-nya berat, tapi pasti kangen untuk melakukannya lagi. And now I'm still counting for the next mountains.

"Jangan berhenti dan menyerah sebelum melakukan semua yang kita bisa. Bukan untuk melihat seberapa hebat kita ketika sampai diatas sana, tapi untuk melihat luar biasanya lukisan Sang Pencipta."

Yuk, kemana-mana lagi setelah ini.
Waktunya istirahat!
Hari itu setelah pulang dari Bromo dan Air terjun Coban Pelangi, saya berpisah dengan Kristian, Sondra, dan Rholf. Mereka akan lanjut ke Bali. Terima kasih ya sudah menemani saya 'bayar hutang'. Semoga bisa bertemu lagi lain kali.


Saya, Rholf, Kristian, dan Sondra, Takk! 

You May Also Like

8 comments

  1. cerita yg mantap dan menginspirasi.. keren..
    semoga bisa segera keturutan jg pergi ke puncak mahameru..
    nice share Gemilang.. :-)

    ReplyDelete
  2. kereeeen! cewe tapi kuat langsung pulang habis summit! (b)

    ReplyDelete
  3. ah so proud of ypu ! menjawab keraguan orang dengan selfie di puncak mahameru itu keren ! suka juga dengan post solo trip di prau , menginspirasi saya yg baru akan mencoba untuk solo trip kesana. next time semoga bisa ketemu di jalur menuju puncak gunung yang lain kaka :)

    ReplyDelete