Short Trip to Prau & Dieng Plateau
Cukup keget waktu login dan ngecek statistik blog,
ternyata yang visit banyak sekali. Nggak nyangka! Thankyou so much ya teman-teman yang mau baca. Akhirnya itu juga yang bikin saya semangat buat nulis lagi. Hihi.
Fyi, guys. Hidup banyak berubah sejak terakhir kali saya nulis.
Dulu mau kemana aja kapan aja bisa, asal ada duitnya sih. Sekarang.. hhmmm..
butuh extra-management sebelum
hepi-hepi. That’s my new chapter of life.
Tapi gimana-pun, passion is passion. Kalau
itu bikin jantungmu berdebar dan merasa hidup, kejar dan jangan pernah
ditinggalkan.
Kali ini Wonosobo, kota kecil di Jawa Tengah menjadi destinasi
pilihan saya. Akan lebih akrab bagi teman-teman kalau destinasi yang saya sebut Dataran Tinggi Dieng. Terletak 30 km dari pusat kota, tepatnya berada di antara perbatasan Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, banyak tempat yang asik disana. Wisata Dieng disebut juga sebagai tempat persemayaman para dewa dewi, saking bagusnya.
Tapi to be honest, yang bikin saya tertarik adalah Gunung Prau, puncak tertinggi Dieng. Berada pada ketinggian 2.565 mdpl, puncak Gunung Prau dikenal sebagai salah satu sunrise point terbaik di Indonesia.
Tapi to be honest, yang bikin saya tertarik adalah Gunung Prau, puncak tertinggi Dieng. Berada pada ketinggian 2.565 mdpl, puncak Gunung Prau dikenal sebagai salah satu sunrise point terbaik di Indonesia.
Segeralah saya mengumpulkan informasi. Menurut referensi teman, ada beberapa rute perjalanan menuju ke Wonosobo dari Surabaya. Via Magelang atau via Semarang, saya pilih opsi Semarang setelah review beberapa artikel di google. Keduanya menempuh waktu rata-rata sekitar 14 - 15 jam untuk sekali jalan. Hehe, lumayan yah.
Saya cuma punya hari Sabtu dan Minggu untuk trip ini. Even tidak terlalu pintar dalam perhitungan, tapi saya yakin saya punya cukup waktu. Jaket, Sleeping bag, jas hujan ponco, tracking pole, kamera, dan perlengkapan lain hanya sempat saya siapkan sehari sebelum berangkat. Berhubung persiapan cukup mendadak dan kangen solo trip, ya sudah saya berangkat sendirian (lagi).
Surabaya – Semarang
Setelah make sure semua perlengkapan telah masuk dalam ransel, sepulang kantor saya
berangkat menuju terminal Purabaya (Bungurasih). Armada bus menuju Semarang tersedia dari kelas ekonomi hingga bisnis
(patas), tentu saja tarif dan lama perjalanan berbeda. Selain bus, alternatif
transportasi lain yang ekonomis dan praktis adalah kereta api. Sekitar jam 10 malam
saya sampai di terminal. Padatnya penumpang saat weekend membuat saya kesulitan menemukan bus yang bisa saya
tumpangi, apalagi saya kemalaman. Dari jauh, bus ekonomi berwarna hijau pelan-pelan
mulai berangkat. Kondektur berteriak “Semarang terakhir .. terakhir ..”. Menurut
petugas terminal, memang bus itu merupakan bus terakhir hari ini. Jadilah saya
lari kencang demi mengejar bus hijau yang ternyata didalamnya sudah penuh sesak
penumpang. Saya pikir akan berdiri sepanjang
perjalanan, tiba-tiba seorang penumpang turun karena salah naik bus. Horeee.. nggak jadi berdiri.
Solo trip memang harus lebih hati-hati dan waspada. Apalagi kalau perjalanan malam hari dan busnya penuh sesak begini. Makanya saya kuat-kuatin melek berjam-jam. Normal perjalanan Surabaya – Semarang via darat adalah 8 jam. Tapi karena perjalanan malam hari dan jalur pantura cukup sepi, bus hanya butuh waktu 6 jam untuk sampai Semarang.
Semarang - Wonosobo
Terminal Terboyo hari Sabtu (30 Mei 2015) jam empat pagi, sepi, gelap, dan lumayan dingin. Dari sini saya harus ganti kendaraan menuju Wonosobo. Setelah satu jam menunggu, bus besar vintage datang pelan-pelan. Penumpangnya hanya saya dan dua orang bapak-bapak yang langsung tidur nyenyak dibelakang. Saat hari mulai terang, saya jadi makin excited melihat suasana pagi berbagai daerah yang saya lewati. Semarang - Ungaran - Ambarawa - Parakan - hingga Wonosobo.
Sejuk segar. Kok nggak dari kemarin-kemarin aja saya main kesini. Makin siang bus makin penuh. Saya pikir perjalanan hanya 3-4 jam, ternyata jauh. Sebenarnya tidak begitu terasa, toh sepanjang perjalanan saya ngobrol dengan penumpang lain dan selebihnya tiduuuuurrr. Dalam kelaparan dan kumus-kumus setelah 7 jam perjalanan akhirnya sampai juga di Wonosobo.
Wonosobo - Dieng
Perjalanan masih belum berhenti. Setelah 12 jam duduk dalam bus, saya masih harus pindah ke mikrobus untuk menempuh 30 km dari kota Wonosobo menuju kawasan wisata Dataran Tinggi Dieng. Jalannya cukup lengang, tidak begitu padat penduduk. Hawanya sejuk, banyak sawah, perkebunan sayur dan buah. Menyenangkan sekali. Banyak juga backpacker seperti saya datang kesana pada waktu itu. Indeed, itu kan weekend. Kira-kira satu seperempat jam saya tiba di gate Dieng. "Wiiih.... Asik", I couldn't say anything else.
Dieng Plateau
Turun dari mikrobus saya cuma diam, tarik nafas, sambil mata saya keliling menjelajahi pemandangannya. Ya ampuun.. ini worth it setelah perjalanan panjaaaaang, jadi wajar norak. Untung saya sendirian, jadi bebas ya kan mau norak gimana aja. Saya mampir ke sebuah toko untuk beli perlengkapan dan logistik. Tidak jauh dari sana, saya bertemu dengan teman-teman satu perusahaan tapi beda kantor. Ternyata mereka juga sedang berlibur kesana. Yeyeye .. bisa nebeng ke beberapa spot.
![]() |
Makasi, Mbak-Mas .. Boleh nebeng :)) |
Kawah Sikidang
Masih terlalu siang untuk mendaki ke Prau, jadi saya putuskan gabung dengan teman-teman untuk berkeliling ke kawasan wisata Dieng. Kawah Sikidang menjadi lokasi pertama yang saya kunjungi, kawah yang airnya selalu mendidih dan menyemburkan gas yang beraroma belerang.
![]() |
Hehe .. Ini foto sahabat saya didepan gate Kawah Sikidang |
Kawah Sikidang tidak berada di puncak gunung, melainkan di daratan yang menyerupai sebuah sumur. Pengunjung dapat merebus makanan hingga matang dalam air kawah yang panas. Ada juga kuda dan ATV yang di sewakan untuk berkeliling di sekitar kawah.
Saya sendiri lebih tertarik ngobrol dengan bapak-bapak penjual souvenir khas Dieng. Bunga Edelweiss kering warna-warni, belerang, sayur dan buah-buahan, serta yang paling menarik adalah potongan kayu yang punya tekstur cantik secara alami. Saya lupa pastinya apa jenis kayu tersebut, teksturnya teratur seperti batik. Pak Arifin menjual souvenir kayu tersebut 15-25 ribu rupiah sesuai ukurannya. Beruntungnya, saat pamit saya malah dikasih souvenir gratis dari Bapak-nya. Terima kasih, Pak Arif.
![]() |
Karena selfie is too mainstream |
![]() |
Saya, Pak Arif, dan souvenir-nya |
Selain Kawah Sikidang, terdapat juga kawah-kawah lain yang masih berada di kawasan Dieng yaitu Kawah Sikendang, Kawah Sileri, Kawah Candradimuka, Kawah Sinila, Kawah Timbang, Kawah Pager Kandang dan Kawah Sipandu. Tapi sayang saya tidak sempat berkunjung, next time lah ya.
Batu Pandang
Salah satu spot wajib yang perlu dikunjungi saat berwisata ke Dieng adalah Batu. Letaknya tidak terlalu jauh dari Kawah Sikidang namun berada di area yang lebih tinggi. Batu Pandang merupakan perbukitan yang berada satu lokasi dengan Dieng Plateau Theater. Teater tersebut menayangkan film pendek berdurasi 20 menit tentang keindahan alam dan keanekaragaman budaya Masyarakat sekitar serta aktifitas vulkanik gunung berapi yang ada di Dataran Tingggi Dieng.
![]() |
Pemandangan Telaga Warna dari Atas Batu Pandang |
Menuju Batu Pandang ditempuh dengan berjalan kaki selama sekitar 10 menit. Jalan sempit menanjak dengan matahari yang cukup terik sama sekali tidak berarti saat sampai di atas kemudian disambut pemandangan Telaga Warna yang dikelilingi tanaman hijau serta Gunung yang berderet. Baguuuus!!
Telaga Warna dan Telaga Pengilon
Setelah amazed lihat dari atas Batu Pandang, kemudian saya turun untuk mampir ke Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Uniknya, akibat kandungan belerang didasar airnya jika dilihak dari kejauhan Telaga Warna akan membiaskan warna yang berbeda-beda . Sedangkan Telaga Pengilon yang terletak besebelahan tidak terpengaruh belerang dan memiliki air yang jernih.
![]() |
Telaga Warna |
![]() |
Telaga Pengilon |
Selain kedua telaga tersebut, setidaknya ada 3 goa yang berada dalam area yang sama. Goa Semar, Goa Jaran, dan Goa Sumur. Pada waktu tertentu, ketiganya sering digunakan sebagai tempat bertapa bagi yang percaya. Oyaa.. disana saya juga bertemu dengan teletubies. Ternyata mereka juga jago joget, lucu kan yah..
Sebelum move, saya penasaran untuk mencoba flying fox melintang diatas telaga warna. Jauh-jauh perjalanan kemari, tidak boleh kesempatan saya lewatkan. Namanya juga short trip .. setiap lokasi dihampiri dengan waktu yang singkat, asal rata. Sebagai penutup perjumpaan, saya sempatkan foto bersama teman-teman yang baik yang mau kasih saya tumpangan. Iya, kami berpisah disini dan melanjutkan perjalanan masing-masing.
![]() |
Have a nice holiday, guys. See you! |
Menemukan tempat seru membuat saya lupa belum isi perut. Saya mampir ke salah satu warung lokal yang menyediakan makanan khas Dieng, Mie Lotek namanya. Sejenis mie ayam yang disajikan dengan bakso, tahu, dan sate lengkap dengan bumbu kacang plus secobek sambal ijo. Rasanya enaaaak sekaliii dan porsinya lumayan besar, pas untuk yang kelaparan dari pagi.
![]() |
Satu set Mie Lotek, yummy! |
Time goes so fast. Apalagi kalau dinikmati. Tiba-tiba matahari mulai say good bye, adzan magrib mempertegas bahwa malam akan segera datang. Cukup kenyang dan istirahat, kemudian saya lanjut menuju ke start point Gunung Prau. Super excited!
Gunung Prau
Kembali sendirian dengan semangat yang semakin menyala. Sepanjang perjalanan, saya menemukan 3 pos jalur pendakian, Patak Banteng, Dieng Kulon, dan Kendal. Menumpangi mikrobus terakhir, kira-kira 15 menit dari warung mie lotek di kawasan Dieng, saya sampai di pos pendakian Patak Banteng.
Jika dibandingkan dengan dua jalur lainnya, jalur Patak Banteng memakan waktu yang relatif lebih cepat dengan jarak yang lebih dekat. Senang? Jangan dulu. Meskipun cepat, butuh ekstra tenaga, kesabaran, dan niat untuk melewati medan yang sangat menanjak. Itu sih kata google yang sebentar lagi akan saya buktikan. Sekitar pukul 8 malam saya sampai di pos pendakian Patak Banteng. Pos masih lengang, belum begitu banyak orang. Menyelesaikan retribusi dan administrasi, kemudian saya tidur di pos.
Meski langit relatif cerah, tapi angin cukup kencang. Udara mulai dingin. Semula saya ingin mulai berjalan sekitar pukul 10, melihat kondisi angin, saya tunda hingga sekitar pukul 12. Makin malam, suasana di pos makin ramai. Pendaki mulai datang. Informasi dari petugas loket, jumlah pendaki saat itu sekitar 700 orang. Fyi, itu hanya yang berangkat dari Patak Banteng, belum termasuk dua jalur lainnya. Ckckck ...
![]() |
Here comes the sun :) |
Sindoro dan Sumbing yang mesra |
Gunung Prau memang cantik sekali saat pagi. Framing-nya pas . Bukit, lautan awan, dan pemandangan Gunung Sindoro dan Sumbing. Pemandangan puncak makin manis saat matahari bertambah tinggi. Padang rumput Gunung Prau juga ditumbuhi Bunga Daisy berwarna-warni.
Beberapa saat mengambil gambar, tiba-tiba kamera yang saya bawa mati. Haaaah.. sedihnya belum selesai foto. Sepenuh harapan saya otak-atik kamera, berharap jangan mati dulu sebelum pulang. Mas Basith, seorang fotografer dan temannya kemudian lewat. Mungkin saya kelihatan putus asa dengan kamera ditangan yang tidak bisa menyala. Ternyata tipe kamera yang kami bawa sama persis. Ia coba membantu, ternyata tetap belum bisa menyala. Sebelum akhirnya saya pamit turun, Mas Basith yang baik hati mengambil foto untuk saya. "Biar bisa buat ganti dp (display picture)", katanya. Hehehe.. Thankyou anyway.
![]() |
Indeed, superexcited! |
![]() |
Nice to meet you, Mas Basith and friend. |
Hampir lupa waktu, tiba-tiba sudah hampir jam 8. Karena estimasi waktu perjalanan pulang sekitar 12-15 jam, saya harus buru-buru agar bisa tetap ngantor besok pagi. Turun dengan jalur sama dengan yang saya lewati semalam. Pemandangan sepanjang perjalaanan sangat indah saat hari terang.
Terlihat juga bagaimana kondisi jalan yang saya lewati tadi malam. Berbatu, terjal, dan agak licin. Medan seperti ini membuat kaki jauh lebih lelah saat turun. Hati-hati.
Ada bagian perjalanan yang sangat berkesan saat saya di Gunung Prau. Saat saya sibuk selfie, seseorang berdiri didepan, diam, dan terus melihat kearah saya. Saya nggak sadar sampai melihat beberapa lama kearah orang yang ternyata sangat saya kenal. Namanya Zulfahmi Fauzan, teman paling gila dari Medan yang beberapa tahun terakhir move ke pulau Jawa. Surprised melihat wajah songong-nya muncul didepan saya. Lebih kaget lagi karena munculnya di Gunung Prau. Padahal kami nggak janjian. Makin meriah perjalanan pulang saya dengan suara cempreng-nya. Sampai di pos pendakian, saya dan Zul mampir ke toko terdekat untuk mencicipi Carica, buah khas Dieng yang masih sekeluarga dengan pepaya. Carica juga diolah menjadi minuman kemasan yang manis dan pas untuk oleh-oleh.
Rencana pulang saya berubah total setelah bertemu Zul. Ide gila Zul menantang saya pulang bersama naik sepeda motor. Kebetulan jalur kami sama, hanya saya harus lanjut sendiri dari Tuban menuju ke Surabaya. Lebih gila lagi, saya terima tantangannya. Setelah makan siang, kami membeli helm untuk saya. Kami benar-benar menempuh 10 jam perjalanan dari Dieng hingga ke Tuban dengan sepeda motor. Dan masih sempat-sempatnya mampir keliling Kota Semarang, Zuul!
![]() |
The Double Trouble siap pulang! |
Bonus. Dalam perjalanan kami bertemu dengan Anak Gimbal. Salah satu bucket list saya dalam perjalanan ini memang bertemu Anak Gimbal. Masyarakat di kawasan Dieng mempercayai bahwa anak-anak berambut gimbal merupakan karunia atau anugerah dari para Dewa. Menurut warga sekitar, anak gimbal sudah tidak sebanyak dulu. Jika tidak punya cukup waktu, saya tidak akan sempat bertemu. Saat kami selfie, tiba-tiba seorang anak berambut gimbal berjalan santai tepat diseberang kami. Penuh penasaran, saya kejar. Namanya Bagus, Ia merupakan salah seorang anak yang akan menjalani ritual potong rambut yang digelar dalam acara Dieng Festival bulan Juli mendatang.
Senin dini hari setelah berpisah dengan Zul di Tuban dan lanjut via bus, saya akhirnya sampai di Surabaya dengan selamat. Thank's God, dijagain sepanjang perjalanan. Rasanya fresh, I feel alive! Saya namakan ini perjalanan solo trip gagal karena walau pergi sendiri - pulang sendiri, saya tidak pernah merasa benar-benar sendirian. Entah bertemu dengan orang baru, atau teman lama yang mengejutkan.
Cerita soal perjalanan memang nggak pernah ada habisnya. Setiap kali kaki mulai melangkah, entah lewat bicara atau menulis, saya selalu ingin cerita kepada dunia tentang apa yang mata saya lihat. Well, travelling really leaves me speechless, then turns me into a story teller. Sampai cerita berikutnya. Thankyou for reading, guys!
10 comments
GILA!!!!!
ReplyDeleteDari surabaya, sendirian, cewek.
KEREN!! EDAN INI ORANG!!!
Lo nulisnya juga provokatif banget. Jempoll!!!
Pesona Dieng Plateau memang sangat memukau, salah satu Objek wisata di jawa tengah selain wisata candi borobudur, wisata candi gedong songo, wisata umbul sidomukti, wisata pantai lembupurwo dll.
ReplyDeletekak, waktu naik ke prau kakak sendirian aja atau nebeng pendaki lain? terus kalau sendiri gt gmn kakak bikin tendanya? soalnya aku mau ke dieng nih kak bulan agt, dan sendiri juga, mau lihat DCF, tp sayang banget kalau kedieng ga naik ke prau. pengen ke prau tp blm pernah naik gunung. jadi bingung kalau sendiri gt gmn kita bisa bikin tendanya. thanks ya kak :)
ReplyDeleteHi, Mbak Ratna :)
DeleteBaru sempet buka blog. Sebaiknya naik dini hari aja kalau belum pernah naik gunung sendiri dan bikin tenda. Mbak Ratna bisa transit dan istirahat dulu di pos sampai kira-kira jam 2 lalu mulai mendaki. Itu lebih praktis. Goodluck.
WAAAAAAAA. Waktu pertama mikir ke prau sendiri gmn ya. And this blog menyakinkan saya lagi untuk solo trip ke sana! Thank you mbak! Happy bgt deh baca tulisannya :)
ReplyDeleteYey, you can do it! Jangan lupa tetap hati-hati ya mbak.. Good luck.
Deletembak boleh minta email? mau tanya2 nih
ReplyDeleteboleh, gemilangroberto@gmail.com
Deletekapan bisa kesana
ReplyDeletedownload film horor
Total budget pengeluaran selama disana habis berapa ya mbak?
ReplyDeleteHabis baca blognya jd pengen pergi kesana sendirian jg