Bahagia itu Sederhana, Pulanglah ke Desa

by - 10:58 AM

Hi, I'm back!

Lama sekali sejak tulisan Saya yang terakhir. Beberapa perjalanan telah Saya lakukan selepas Short Trip to Prau & Dieng Plateau tapi Saya belum sempat menulis lagi. Sebagian tulisan hanya berakhir jadi draft sampai kadang Saya tidak bisa ingat detail perjalanan. Saya simpan kelamaan, maaf ya kalau ceritanya agak basi.
 
Biasanya (1) pergi sendiri, tapi diakhir tahun 2015 lalu akhirnya Saya bisa mengajak keluarga berlibur bersama di kampung halaman Iyang (Nenek), Pacitan. Daerah ini cukup ramai sejak beberapa tahun terakhir. Naik daun bersama dengan naiknya popularitas Presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (yang juga berasal dari sana). Kampung halaman kebanggaan Iyang Saya, Nyonya Amini, yang mirip Yati Pesek. Konon Iyang adalah gadis powerful idola para pemuda pada jamannya (Peace, yang :*)


Biasanya (2) Saya bersama keluarga menghabiskan ayem-nya suasana natal di rumah. Pergi doa malam, Ibadah pagi, kemudian nonton film sambil nyamil kue natal sepanjang hari. Tahun ini tidak sama, tanggal merah berjajar rasanya sayang sekali untuk diacuhkan. Maklum, Saya sekarang buruh. Fakir liburan.

Perjalanan ini jadi tidak biasa buat Saya.

Well, kami pergi berempat. Saya, Iyang, dan dua adik perempuan Saya, Intan dan Ela. Travel menjadi alternatif transportasi pilihan kami. Selain harganya tidak terlalu mahal, faktor kenyamanan juga menjadi pertimbangan Saya kali ini.

Rekomendasi travel Surabaya - Pacitan : Alfath Duta Travel,
Tarifnya 150 ribu/pax sekali jalan termasuk fasilitas satu kali makan. Kendaraannya nyaman, pengemudinya ramah, pelayanannya baik.

Perjalanan Surabaya - Pacitan dengan kendaraan darat menempuh jarak sekitar 340  km melalui Mojokerto - Jombang - Nganjuk - Madiun - Ponorogo - Pacitan dengan waktu tempuh sekitar 6 jam, normalnya. Tapi jika terjebak padatnya lalu lintas liburan seperti kami, bersabarlah menghabiskan 12 jam dijalan.

 
Mati gaya berjam-jam dalam kemacetan.
Kami tiba di Pacitan menjelang tengah malam. Bersyukur, ini adalah daerah kekuasaan Nyonya Amini pemilik seribu satu saudara yang rumahnya bisa jadi tempat jujugan. Malam pertama kami menginap di Desa Ngadirejan, titik tengah antara Kota Pacitan dan Desa Sugih Waras (rumah masa kecil Iyang).

Sejak kami datang, sambutan kehangatan keluarga disana terasa tidak ada hentinya. Kakung (Kakek) Prapto, adik Ipar Iyang, dengan sangat bangga dan excited menceritakan tempat-tempat keren di sana yang wajib kami kunjungi. Saya tidak sabar.

******

Kabupaten Pacitan berada diperbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Landscape daerah ini didominasi dengan bukit kapur dan pegunungan. But Guys, Pacitan itu komplit. Pantai, gunung, sungai, goa, hot spring alami dia punya semua. Cerita Saya hanya sebagian kecilnya saja.

https://jalanalakere.files.wordpress.com/2012/05/peta-pacitan.jpg

Day 1 : Desa Lorog - Flying Fox terpanjang di Indonesia (Pantai Taman) - Desa Sugih Waras

Kakung menghabiskan masa kecilnya di desa Lorog, sebelah timur Kabupaten Pacitan. Menurutnya, ada pantai yang cantik tidak jauh dari rumah masa kecil Kakung itu. Dulu pantai tersebut tak bernama, sekarang dikenal dengan nama Pantai Taman.


Menempuh waktu perjalanan sekitar 60 menit menggunakan mobil dari Ngadirejan, atau sekitar 30 menit dari Kota Pacitan. Saya kagum. Jalannya lebar dan bagus. Tentu saja itu tidak lepas dari peran Pak SBY juga sih

Selama perjalanan, mata kami dimanjakan dengan pemandangan bukit-bukit dan pantai. Tidak ada macet. Udaranya bersih bebas polusi. Sepi. Sesekali kami berhenti untuk ambil gambar jembatan khas desa Lorog sempat mampir mengunjungi Ibu Kandung Kakung Prapto (Buyut).

Iyang Amini bangga. Wajahnya berbunga-bunga. Cucu-cucunya tidak kalah sumringah.

 

 

Buyut dan Saya
Iyang Amini dan Intan di rumah masa kecil Kakung
Pantai Taman merupakan kawasan konservasi penyu di Pacitan. Selain itu, sebagai tempat wisata keluarga, pantai ini juga dilengkapi dengan fasilitas kolam renang, area permainan, serta flying fox. Memasuki area pantai, kami dibuat terkesan dengan paduan pemandangan pantai yang dan bukit-bukit hijau. Hari yang sangat cerah.
 
 

 

Tujuan utama kami datang kemari adalah mencoba permainan flying fox. Flying fox yang dimulai dari atas bukit setinggi 74 meter dengan panjang lintasan 415 meter ini di-claim sebagai Flying fox terpanjang di Indonesia. Harga tiketnya mahal? Nope! Hanya Rp 25.000/pax sekali naik. Sangat menarik.

Iyang dan Kakung menunggu di bawah, sementara Saya, adik, dan sepupu Saya bergegas naik ke bukit. Fyi, permainan ini hanya ada pada saat weekend dan hari libur (atau saat high seasson saja). Kami tidak sabar merasakan bagaimana badan kami meluncur dari atas bukit melintasi tepi pantai dengan pemandangan yang indah.

Terik matahari, basah keringat, dan ngos-ngosan seketika lenyap saat sampai di starting point. Menunggu giliran terjun dengan berteduh dibawah pohon sembari menikmati angin dan pemandangan itu rasanya sejuk. 

Tiba giliran kami. Masing-masing meluncur dengan teriakan kencang, menikmati sekitar 30 detik perpindahan dari atas bukit menuju ke tepi pantai. Rasanya? Whuaaaaaaaaaaaa. Harus dicoba sendiri! Pokonya, adik-adik saya hepi luar biasa.
 

Perjuangan Intan dan Ela
Pemandangan dari atas bukit (Ela)
 

Intan siap meluncur
Masih dalam suasana takjub. 30 detik yang sangat menyenangkan. We're just flying. Walaupun kaki sudah menginjak pasir tapi rasanya masih melayang, senang. 

Hari itu adalah hari Jumat. Kakung dan sepupu Saya muslim. Mereka harus menjalankan ibadah shalat Jumat. Kami kembali ke Ngadirejan. Istirahat dan packing untuk berangkat ke rumah masa kecil Iyang.

******

Desa Sugih Waras, tanah kelahiran Iyang berada pada dataran yang lebih tinggi. Akes menuju ke desa tersebut juga tidak sebaik jalan-jalan yang kami lewati sebelumnya. Jalan relatif lebih kecil, kadang berbatu tanpa aspal. Waktu tempuhnya tak kurang dari satu jam. Tapi jangan salah, makin jauh dari kota, tenang makin terasa. Paru-paru semakin lega karena udara bersih dimana-mana.

Saya suka desa. Saya pikir, desa adalah tempat yang tepat untuk beristirahat. Sementara atau selamanya. Kehidupan di desa begitu sederhana dan sederhana itu membuat kita mudah bahagia.

Desa begitu jujur dan tulus. Maaf kalau Saya berlebihan. Setidaknya itu yang Kami rasakan saat tiba di rumah tempat Iyang menghabiskan masa kecilnya. Sambut hangat. Emosional dan sedikit haru karena lama tidak bertemu. Sukacita yang bukan pura-pura.

Begitu lama Iyang pergi merantau meninggalkan desanya. Sejak belum menikah sampai punya cucu tiga (yang sudah waktunya menikah :p). Sebagian teman sebayanya sudah tidak ada tapi yang masih ada sama sekali tidak lupa cerita masa kecil mereka. Bergantian teman Iyang datang ke rumah. Keluarga dan handai taulan berkumpul, memasak, kemudian makan bersama. Yang tua, yang muda, semuanya. Rela semalaman terjaga agar bisa saling tukar cerita.

Tanpa kemewahan. Ramah, sumringah, sederhana, dan bahagia.
 
   
  

Party time!
Day 2 : Desa Sugih Waras - Sungai Maron - Pantai Klayar - Kota
  

Semalam adalah pesta dalam balutan kesederhanaan. Ngobrol dengan keluarga itu menyenangkan. Beberapa tahun tidak berkunjung, ternyata Saya punya beberapa orang keponakan. Sepupu saya yang masih bayi, kini sudah besar. Banyak yang berubah, banyak cerita.

Kakung Prapto kembali ke rumahnya. Sekarang kami bersama keluarga kakak pertama Iyang. Pagi hari, bapak-bapak bertani, ibu-ibu memasak dan menata rumah. Kemudian mereka pergi ke sekolah. Pakde dan Budhe Saya sebagian besar bekerja sebagai guru di desa itu. 


Saya, Intan, dan Ela jalan-jalan di sekitar desa. Menghirup udara segar. Berkunjung ke sekolah tempat Budhe kami mengajar (ternyata sekolah Iyang saat SD). Menikmati suasana desa, memberi makan ternak, dan menyapa tetangga.

 

 

 

 


Sekolah SD Iyang
Didepan ruang kelas Iyang

Menjelang siang, sepakat keluarga mengajak kami jalan-jalan ke Sungai Maron dan Pantai Klayar. Orang-orang disini sangat bangga Pacitan pernah menjadi salah satu daerah yang dikunjungi My Trip My Adventure. Makanya, mereka ingin kami yang jauh-jauh dari Surabaya melihat tempat-tempat tersebut.


Here we go!
Sungai Maron dijuluki sebagai "The Amazon of Indonesia" atau "Green Canyoon Pacitan". Letaknya di Desa Dersono, Kecamatan Pringkuku, atau hanya sekitar 30 menit dari Desa Sugih Waras.

Wisata yang ditawarkan adalah menyusuri sungai bernuansa hijau tosca sepanjang 4,5 km yang dikelilingi pohon mirip dengan suasana Amazon. Cara terbaik menikmati Sungai Maron adalah dengan menggunakan perahu penduduk yang memang sudah stand by menyambut pengunjung. 

Durasi perjalanan kurang lebih selama 45-60 menit dengan tarif kapal mulai dari Rp 25.000 (belum termasuk ongkos menunggu jika ingin main-main di Pantai). Tidak ada karcis masuk, hanya ada biaya parkir Rp 5.000 per mobil.




Tarif kapal Sungai Maron
 

 

 

  

  

 
 
 

Muara Sungai : Pantai Ngiroboyo
Pantai Klayar terletak di Kecamatan Donorojo, tepatnya di Desa Kalak, Kabupaten Pacitan. Sejauh 45 menit perjalanan dari Sungai Maron. Dibandingkan dengan Pantai Taman atau Sungai Maron, Pantai Klayar memang lebih hits. Pada libur panjang lalu tentu saja dipenuhi ribuan manusia. 

Pantai Klayar khas dengan batu karang besar yang secara alami memiliki bentuk yang unik. Selain itu ada juga air mancur alami dan seruling laut, air mancur alami di pantai Klayar ini terjadi karena tekanan ombak yang cukup besar masuk melalui celah batu sehingga menimbulkan muncratan dan bunyi seperti seruling.

Waktu yang tepat menikmati Pantai Klayar adalah saat low seasson holiday. Pantai ini tidak cocok untuk berenang karena ombaknya yang besar. Saya cukup terkesan dengan fasilitas yang cukup lengkap disini mulai dari rest room, food court, tempat belanja, hingga permainan-permainan seperti ATV.


 

 

 

 

 


Matahari tenggelam menjadi pengingat kami untuk segera pulang. Malam ini kami meninggalkan desa, menginap di rumah saudara yang lainnya di kawasan Kota. Haru sekali saat keluarga mengantarkan kami. Sehari begitu singkat. Semua masih ingin lebih lama bersama.

Day 3 : Pantai Teleng Ria - Pancer door - Pulang

Pagi ini kami sudah berada di Kota Pacitan. Adik laki-laki Iyang yang lain, tinggal disini. Kakung Is namanya. Meski berbeda suasana, namun hangat suasana keluarga selalu tercipta.

Saya suka bersepeda disekitar rumah Kakung. Meskipun kota, tapi pemandangannya Indah dan tenang. Hal yang sudah tidak pernah Saya lakukan lagi di Surabaya.

Pacitan memang tidak ada habisnya. Manusia dan alamnya, sama-sama menyenangkan. 

Kami mampir ke Pantai yang sudah terkenal cukup lama, Pantai Teleng Ria. Lokasinya sangat dekat dengan rumah Kakung, sekitar 10 menit perjalanan. Pantai ini berhadapan langsung dengan Pantai Selatan berombak besar yang biasa digunakan untuk surfing. 
 

 


Pantai Pancer Door masih berada garis pantai yang sama dengan Teleng Ria. Kawasan pantai Pancer Door dikelilingi pohon serta rerumputan. Sebenarnya pantai ini lebih sering digunakan sebagai kawasan perkemahan. Meski menurut Saya pribadi lebih baik dari Pantai Teleng Ria, namun pantai ini kurang diminati. Beberapa wisatawan yang Saya jumpai adalah turis asing yang asik bermain surfing. Jarak pantai dari gate tiket memang cukup jauh mungkin menjadi pertimbangan pengunjung.  Pancer Door menjadi destinasi penutup liburan kami.
 

 


Kami pulang ke Surabaya menumpang travel  yang sama. Kami tiba di Surabaya Senin pagi. Saya pribadi merasa jauh lebih segar. Saya harap, Iyang dan adik sayapun demikian.

Cerita perjalanan Saya kali ini memang tidak seperti biasanya. Biasanya (3) banyak tips yang bisa saya bagikan, tapi kali ini Saya cuma ingin membagikan kesan.

Saya hanya senang menulis perjalanan yang menurut Saya impressive. Entah karena effort perjalanan atau apa saja yang membuat mata Saya berbinar-binar saat kembali mengingatnya.

Saya berbinar saat mengingat perjalanan yang Saya tulis ini. Betapa bahagia itu sederhana. Bukan dipantai, bukan di gunung, bukan di sungai. Bahagia saat Saya pulang yang dalam cerita ini adalah ke desa. Bertemu dengan orang yang menantikan kita dan berbagi (meski hanya) cerita. Disambut dengan sepenuh hati rasanya jauh lebih indah dari pantai di sore hari. 

Iyang membanggakan Pacitan kini Saya tidak heran. Kampung halamannya memang Indah lahir dan batin.

Terima kasih sudah dibaca :)


Iyang Rati dan Nyonya Amini

You May Also Like

2 comments

  1. Saya ikut berbinar membacanya mba Gem, hehe..
    Mantap tulisan dan fotonya.

    ReplyDelete