• Home
  • About
  • Contact
    • Email
Instagram Facebook Google +
 #SoloTrip

Kapan terakhir kali merasa beruntung?

Sengaja membuka dengan pertanyaan itu agar kita berhenti sebentar untuk memikirkan jawabannya. Bisa jadi setahun lalu, atau tiga bulan lalu, atau bahkan beberapa menit yang lalu. Coba deh temukan dulu jawaban kalian, sebelum punya ekspektasi terlalu tinggi waktu baca judul tulisan ini :)


Yes, it's been a while.

Ketika sadar telah mulai memasuki bulan November tahun lalu, saya juga jadi sadar sudah menghabiskan hampir sepanjang tahun fokus ngurusin kerjaan. Pola perjalanan saya berubah jadi business trip Surabaya - Jakarta setiap satu sampai dua minggu. Terdengar keren, tapi cukup membuat saya burnout.

Nah, pas burnout saya beberapa kali coba mengalihkan dengan melakukan hal-hal yang saya suka. Menggambar, melakukan aktivitas sosial, atau baca buku. Tapi masih ada yang saya rindu banget tapi rasanya nggak ada waktu, ide, (dan mungkin kemauan) buat lakukan.

Jujur, kangen banget solo trip dan kemudian mengisi blog dengan cerita atau value yang ditemukan pada setiap perjalanan. Tapi selalu stuck sama pikiran "ya apa yang mau diceritakan kalau nggak pernah kemana-mana". Hmmm.. banyak excuse ya.

Desember 2019 adalah puncak saya merasa burnout. Jadi saya putuskan untuk kembali pada aktivitas yang sempat -terpaksa- saya tinggalkan selama beberapa saat: solo trip naik gunung. Walaupun sebenarnya trip kali ini harus curi-curi waktu sambil kerja karena nggak ada kesempatan cuti, tapi it works, saya happy sekali.

Intro yang cukup panjang. Hehe. Okay, here we go..

Agustus 2017, bersama Hilmy dan Bli Nyoman di Puncak Gunung Agung.
Gunung Batur (1.717 mdpl) terletak di Kintamani, Kabupaten Bangli adalah gunung tertinggi kedua di Bali setelah Gunung Agung. Gunung Batur termasuk Gunung Api yang masih aktif dan terakhir meletus pada sekitar tahun 2000. Terkenal dengan sunrise yang cakep dan ketinggian yang "hanya" seribu-an meter, seringkali Gunung Batur dianggap sebagai "gunung pemula". Begitukah? Tidak juga.

Bagi saya, Gunung Batur adalah ambisi yang tidak terselesaikan pada saat saya pertama kali mendaki gunung di Pulau Dewata. Dua tahun lalu, Agustus 2017, saya mendaki Gunung Agung bersama teman saya, Hilmi. Kami punya ambisi menyelesaikan dua gunung sekaligus yaitu Gunung Agung dan Gunung Batur. Rupanya kami overconfindence. Ambisi berakhir realistis setelah kelelahan mendaki Gunung Agung tektok pada musim hujan. Kami putuskan untuk menunda entah sampai kapan. Sejak itu, saya selalu ingin mampir mendaki Gunung Batur jika ada kesempatan ke Bali lagi.

Saya belum pernah menuliskan cerita Gunung Agung, ini akan menjadi hutang cerita saya berikutnya.
Akhir tahun lalu, saya harus menyelesaikan pekerjaan di Bali selama beberapa hari yang ternyata bisa selesai lebih cepat. Meskipun perlengkapan yang saya bawa nggak se-niat biasanya, saya langsung menyusun rencana trip. Seperti biasa, hal saya lakukan terlebih dahulu adalah mengumpulkan segala informasi yang dibutuhkan.

Kalau kita search 'Pendakian Gunung Batur' via google, sebenarnya yang paling banyak muncul adalah penawaran paket pendakian dari travel agent padahal kan saya mau backpacker-an. Tapi beberapa blog yang saya temukan juga menulis tips dan referensi pendakian yang sangat informatif, seperti blog milik Kadek Arini.

Diantara seluruh referensi yang saya baca, ternyata cukup sulit menemukan informasi tentang akses transportasi umum dari Denpasar (atau Kuta) ke Basecamp Gunung Batur. Ada sih, tapi tidak ada yang dapat dikatakan valid, misalnya tentang jadwal keberangkatan dan harga tiket.

Jarak dari lokasi saya ke basecamp Gunung Batur
Meskipun belum terlalu yakin dengan bekal informasi yang minim, saya merencanakan untuk pergi ke Gunung Batur dengan menggunakan kendaraan umum (bus) melalui terminal Bangli. Selanjutnya dari Bangli, mungkin saya bisa bertanya pada warga sekitar untuk melanjutkan perjalanan.

Keberuntungan #1:

Sesaat sebelum berangkat, seorang teman tiba-tiba menawarkan bantuan. Saya diantarkan menuju Kintamani dengan mobil beserta driver-nya tanpa perlu membayar. Saya terima bantuan tersebut dengan senang hati. Kami menempuh hampir 3 jam perjalanan dari Kuta sampai ke Kintamani. Sempat kami berhenti sebentar untuk makan malam disebuah tempat makan yang artsy di Ubud.

Lepas dari Ubud, jalanan semakin sepi dan udara semakin dingin. Sekilas melihat ke langit, nampaknya mendung, beberapa kali kilat menyambar dari langit. Tiba di kawasan Kintamani, saya menanyakan terminal terdekat pada Pak Nanang, driver yang mengantar. Saya bermaksud untuk turun di terminal dan melanjutkan sendiri dengan transportasi umum atau ojek. Tapi Pak Nanang bilang "Saya antar sampai tempat mendakinya aja, Mbak. Sudah malam". Baik sekali.

Kami melewati arah jalan yang sama dengan arah ke Pemandian Toya Devasya, Batur. Cukup sulit menemukan basecamp Gunung Guntur pada malam hari saat jalan sangat sepi, penerangan terbatas, serta petunjuk lokasi sangat minim. Sekitar jam 21.00 WITA akhirnya saya sampai di basecamp. Sesudah menurunkan saya, Pak Nanang langsung kembali ke Denpasar.

Setahu saya, Gunung Batur cukup populer dan ramai wisatawan, apalagi saat itu hari Sabtu. Tapi ketika sampai di basecamp, saya tidak menemukan siapa-siapa. Rumah dan toko-toko dipinggir jalan sudah tutup. Loket juga masih tutup, sepertinya petugas sedang beristirahat. Tidak terlihat satupun pendaki lain disana.

Sumber foto : travelingyuk.com - saya lupa nggak foto basecamp waktu sampai.

Keberuntungan #2:

Suasana gelap, berangin, dan agak creepy, saya memutuskan berjalan menuju warung yang terlihat tidak begitu jauh dari basecamp. Beberapa orang terlihat sedang duduk sambil menikmati kopi dan popmie. Saya menyapa dan berkenalan. Mereka berlima juga akan mendaki malam ini. Pak Nengah, putrinya Wina, dan tiga orang kerabat mereka yang berasal dari wilayah lain di Bali.

Tidak lama setelah kami ngobrol, seorang petugas memanggil kami untuk mengurus ijin pendakian. Pak Nengah kemudian mengajak saya bergabung saja dengan rombongannya agar tidak jalan sendirian. Setelah membayar tiket dan mengurus perijinan, kami beristirahat disebuah pendopo terbuka yang anginnya lumayan membuat kami kedinginan juga.

Umumnya pendakian dimulai pada pukul 2 dini hari. Saya pikir jalur pendakian dimulai dari basecamp, rupanya masih harus berjalan kaki beberapa kilometer melewati jalan aspal yang menanjak dulu untuk menuju jalur pendakian. Hiksssss. Beruntung sekali Pak Nengah ngeyel mengajak saya bareng naik motor beliau, bonceng bertiga sama Wina juga. Padahal jalannya menanjak dan saya tahu lho saya berat.

Sampai start pendakian cuaca terlihat lebih cerah.

Jalur Pendakian

Menurut penduduk lokal, umumnya ada 2 jalur pendakian yang dapat kita tempuh, Jalur Landai dan Jalur Bule. Jalur landai membutuhkan waktu tempuh sedikit lebih lama karena medannya yang relatif datar. Sedangkan yang kami lewati adalah Jalur Bule. Disebut jalur Bule karena kebanyakan turis mancanegara memilih lewat jalur yang relatif lebih cepat namun juga lebih menanjak. Resume perjalanan kami dari basecamp sampai bisa menikmati sunrise dipuncak Gunung Batur kurang lebih seperti ini*:

Basecamp - Pura Pasar Agung: Mengendarai sepeda motor dari basecamp menuju ke Pura Pasar Agung membutuhkan waktu sekitar 10-15 menit. Banyak juga pendaki yang memilih berjalan kaki dari basecamp, waktu tempuhnya sekitar 40 menit. Sampai di depan Pura, Gunung Batur terlihat sangat jelas dan dekat. Disana kita juga masih bisa menemukan beberapa warung dan area parkir kendaraan bermotor yang cukup luas. 

Pura Pasar Agung - Pos 1: Pada jalur ini, kita akan membuktikan sendiri apakah benar Gunung Batur adalah "gunung pemula". Kabar baiknya, jalur pendakian ini sangat jelas. Bahkan dari bawah, kita bisa melihat arah pendaki berjalan. Sangat memudahkan bagi kaum pendaki-sendirian seperti saya. Selama kurang lebih 60 menit, perjalanan yang terlihat mudah ini ternyata membutuhkan banyak tenaga. Hanya ada semak-semak dan pohon yang tidak terlalu tinggi. Medannya menanjak, terjal,  dan agak licin karena pasir, kerikil, serta bebatuan. Hampir tidak ada bonus jalan yang landai. Bagi saya, ini mengingatkan pada pendakian Gunung Agung yang melelahkan. Bagi rombongan Pak Ngurah yang baru pertama kali mereka mendaki gunung, ini siksaan.

Pos 1 - Pos 2: Saat melihat sebuah bangunan diatas kepala, artinya kami telah sampai di Pos 1. Bangunan tersebut berfungsi sebagai warung saat pagi, sekaligus sebagai tempat beristirahat bagi para pendaki. Tidak jauh dari Pos 1, kita akan menemukan area lapang yang digunakan pendaki untuk berkemah. Nah, disanalah kita akan menemukan sign bertuliskan Gunung Batur 1.717 Mpdl yang iconic. Perjalanan dari Pos 1 ke Pos 2 ditempuh selama kurang dari 60 menit. Dari sini medan perjalanan tidak lagi separah sebelumnya dan lebih sering menjumpai pohon.

Pos 2 - Summit: Lega sekali bertemu kembali dengan beberapa bangunan warung yang menandakan kami sudah sampai di pos berikutnya, Pos 2. Beberapa bangku kayu menghadap ke arah Pura berjajar rapi. Pos 2 juga merupakan sunrise view point yang nyaman. Tapi jika ingin naik lebih tinggi, puncak sesungguhnya hanya berjarak beberapa menit dari sana. Sekitar 5 menit berjalan, kita akan sampai summit ditandai dengan menemukan bangunan pura kecil tempat umat Hindu sembahyang. Kami sampai di summit sekitar pukul 04.30 WITA. Menunggu lebih dari satu jam untuk menunggu Matahari terbit (est. pukul 06.15 WITA).

 *) Seluruh rute perjalanan ini baru saya dokumentasikan saat turun.


Sunrise di puncak Gunung Batur
Monkey see, monkey do.

Semua lelah dan dinginnya perjalanan terbayar lunas dengan apa yang kami saksikan saat Matahari mulai menampakkan diri. Cerah dan sangat indah. Ada awan, matahari, gunung, dan danau: sebuah lukisan yang sempurna.

Melihat matahari yang semakin tinggi, saya teringat jadwal flight pulang yang dijadwalkan pada pukul 12.40 WITA. Pesan seorang teman, agar dapat sampai bandara tepat waktu, saya harus meninggalkan basecamp maksimal pukul 08.00 WITA. Serera saya berpamitan, setelah bertukar kontak dan menyempatkan untuk foto bersama dengan rombongan Pak Nengah. Pak Nengah menawarkan akan mengantar saya sampai terminal terdekat. Namun saya tidak mau mereka terburu-buru menyudahi momen menikmati gunung pertamanya. Meski cuma sebentar, mendaki bersama mereka telah membuat perjalanan kali ini terasa lebih hangat.

Bersama rombongan Pak Nengah (yang paling kanan).



Area camping didekat Pos I





Pura Pasar Agung, disinilah pendakian dimulai
Melewati jalur yang sama, saya menyelesaikan perjalanan turun selama hampir 45 menit. Waktu tempuh mungkin bisa lebih cepat jika tidak ada kemacetan akibat antrian orang sepanjang jalan yang sempit. Sisi baiknya, sambil menunggu giliran jalan, kita bisa menikmati pemandangan indah yang tidak terlihat saat masih gelap.

Keberuntungan #3:

Meskipun terpukau oleh pemandangan, dalam hati saya tetap deg-degan memikirkan gimana caranya bisa sampai bandara tepat waktu. Masalah besar yang saya hadapi adalah saya belum menemukan opsi trasnsportasi yang sesuai. Bahkan bisa dikatakan sama sekali tidak ada opsi. Info dari penjaga tiket dan Pak Nengah semalam, ada Bus Damri yang lewat tidak jauh dari basecamp. Namun diantara mereka tidak ada yang tahu kapan jadwal keberangkatannya.

Dalam antrian turun dari puncak, saya kenalan dan sempat ngobrol sebentar dengan Bli Made (guide lokal Batur). Saya sedikit cerita tentang rencana pulang. But,  I really don't have any idea. Jangankan transport ke airport, bahkan dari Pura menuju basecamp -yang semula saya kira akan bisa menemukan ojek, ternyata juga tidak ada.

Dengan harapan bisa sampai basecamp secepat mungkin, dari Pura saya buru-buru jalan. Setengah berlari. Tiba-tiba dari belakang Bli Made memanggil saya dan berkata "biar teman saya antar kamu pakai motor sampai bawah supaya cepat cari mobil untuk ke bandara". Wuishhh... rasanya seperti ada angin yang berhembus sejuk. Dibonceng Bli Komang melewati para bule yang lagi berjuang jalan kaki, sekali lagi saya merasa lucky bisa sampai basecamp dalam waktu kurang dari 15 menit saja.

Bli Komang, local guide yang memberi saya tumpangan.

Keberuntungan #4:

Sampai di basecamp, saya kembali gather info kendaraan. Saya duduk didepan loket. Secara kebetulan Pak Gusti, Polisi Hutan yang jaga loket semalam, juga duduk disana. Mungkin saya terlihat sangat fokus dan serius menyimak HP saya. Tidak banyak yang kami bicarakan, hanya beberapa pertanyaan saya tentang lokasi terminal terdekat. Beberapa kali Pak Gusti juga balik bertanya, kenapa saya kamu berani naik gunung sendirian. Setelah menjelaskan, saya berpamitan untuk berjalan ke area yang lebih ramai, kalau-kalau ada angkutan umum lewat. Pak Gusti pun masuk ke dalam rumah dinas beliau.

Belum lima menit saya jalan kaki, Pak Gusti menghampiri saya dengan membawa motor miliknya. "Adek, saya mau pulang, rumah saya arah ke Denpasar. Kalau mau, kamu boleh bareng saya sampai ke tempat bus. Tapi saya nggak bawa helm, nanti saya nyetir pelan-pelan saja", kata Pak Gusti. Saya bengong, sesaat nggak bisa ngomomg.

Singkat cerita, saya menumpang Pak Gusti. Saya kira beliau benar-benar akan mengantarkan saya ke terminal atau tempat angkutan umum terdekat dari basecamp. Sepanjang perjalanan, Pak Gusti cerita tentang keluarganya, pekerjaannya, hingga budaya Bali yang mengesankan. Tidak sadar hampir tiga puluh menit berlalu tak juga sampai tujuan. Saya penasaran kemana Pak Gusti membawa saya. "Nanti saya turunkan didekat Pasar, kamu bisa pesan ojek online dari sana", kata beliau. Satu setengah jam sejak kami berangkat, akhirnya kami tiba dikawasan Pasar Mambal. Pak Gusti menurunkan saya didepan toko yang teduh.

Saat Pak Gusti mengantarkan saya ke Pasar Mambal

"Pak, jangan tersinggung, saya mau ganti ongkos bensin Bapak Boleh ya?", kata saya. Lalu Pak Gusti menjawab, "Kamu pakai uang itu untuk naik ojek saja. Sungguh, saya ikhlas. Ini, simpan nomor HP saya barangkali kamu ke Bali dan butuh bantuan". Speecless! Berkat kebaikan Pak Gusti, saya bisa sampai di Bandara 2 jam sebelum keberangkatan. Padahal pagi itu saya sempat pesimis bisa mengejar jadwal pesawat.

Amazed dengan keberuntungan beruntun yang saya alami saat itu, saya menceritakannya pada driver ojek yang mengantar saya ke Bandara. Bapak itu mengatakan sebuah kalimat yang membuat hati saya semakin hangat:

"Adek pernah dengar Karmaphala? Orang-orang yang tadi bantu Adek sedang menabung Karmaphala-nya yang baik. Bukan supaya adek hutang budi pada mereka, tapi mereka percaya setiap kebaikan akan kembali meski tidak melalui adek atau caranya berbeda"

Mungkin saja kita pernah mendengar ucapan tersebut dalam berbagai, seperti hukum tabur tuai, atau yang lain. Tapi melalui perjalanan ini, saya kembali diingatkan bahwa mungkin memang keberuntungan adalah hal yang kita ciptakan. Sebuah kebaikan hari ini yang secara tidak sadar menolong diri kita suatu saat nanti. Keberuntungan juga punya banyak bentuk. Kadang hal yang besar, kadang juga hal yang sederhana, seperti pertolongan-pertolongan yang saya alami.

At the end of the day, perjalanan ini bukan cuma membuat saya fresh secara fisik dan mental karena menyaksikan pemandangan yang indah. Lebih dari itu, saya senang karena jiwa saya juga telah mendapatkan penyegaran. Mungkin ini salah satu value yang selalu saya dapatkan dari solo trip.



Menutup cerita perjalanan Gunung Batur ini, saya ingin memberikan info yang paling sering ditanyakan oleh pendaki terutama solo-traveller:

Opsi transportasi terbaik? Rental motor atau mobil. Satu-satunya opsi angkutan umum yang saya tahu hanyalah bus Damri dari Airport - Bangli - Kintamani. Kurang lebih harganya Rp 3.500 - 5.000 rupiah sekali jalan. Jadwal keberangkatan sekitar jam 7 dan jam 10 pagi. Tapi, info tersebut tidak saya alami secara langsung dan hanya berdasarkan berbagai sumber yang saya dapatkan.
Harga tiket masuk? Rp 7.500,- untuk WNI, Rp 100.000,- untuk WNA (update per December 2019).
Apakah wajib menggunakan Guide? Tidak wajib. Apabila memerlukan, jasa guide di Gunung Batur mulai dari Rp 300.000,- per guide boleh untuk maksimal 5-6 pendaki.
Waktu terbaik pendakian?  Tentunya saat tidak musim hujan. Mulailah berjalan sekitar pukul 2 atau 3 dini hari jika ingin menyaksikan matahari terbit.
Perlengkapan apa saja yang perlu dibawa? Standar perlengkapan mendaki, sesuai kebutuhan masing-masing. Sepatu yang tepat akan sangat memudahkan perjalanan kita. Bawa logistik seperlunya saja, sampai di puncak, kita bisa menemukan warung yang menjual makanan dan minuman.


That's all,
Semoga ada informasi yang bermanfaat untuk perjalanan teman-teman semua!
Terima kasih sudah membaca :) 
 

 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Pertengahan tahun 2014 adalah kali pertama Saya menginjakan kaki di Pulau Sumbawa. Menyeberang dari Pulau Lombok, menghabiskan malam menunggu bus yang tak kunjung datang disebuah toko kelontong kecil tepat diseberang terminal bus Sumbawa Besar. Bukan untuk berwisata, hanya numpang lewat saja. Meski cuma sebentar, tapi beberapa jam melintasi Sumbawa hingga sampai di Pelabuhan Sape akan sulit dilupakan. It was my first solo trip experience (cerita lengkapnya disini)

Seorang co-driver bus yang Saya tumpangi waktu itu berpesan "Kapan-kapan harus kembali lagi ke Sumbawa, pergi lihat air terjun dan Gunung Tambora". Saya jawab .. "Pasti, kalau ada kesempatan (meski tidak tahu kapan)".


Pertama kali melintasi Pulau Sumbawa, 2014.
Dua tahun kemudian, Agustus 2016, perjalanan spontan sepulang dari Gurung Rinjani membawa Saya kembali ke Sumbawa. Keberuntungan mempertemukan Saya dengan sebuah keluarga yang amat hangat. Bapak Tio, Mamak, Mas Iwan, dan Denok. Tengah malam Saya datang dengan wajah lusuh kelelahan, menumpang tinggal di rumah orang yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Keluarga ini menerima dan memperlakukan Saya seperti anak sendiri, sampai tidak bisa lagi bersikap sebagai 'tamu'.

Jika malam itu tidak ditawari tinggal di rumah Bapak, maka Saya akan menghabiskan sisa hari di pelaban Poto Tano yang sepi. Saya juga tidak akan pernah tahu sedapnya rasa Dadar Jagung hangat buatan Mamak. Dan, tentu saja Saya tidak akan pernah coba sensasi mandi di kali Semongkat. Haha, sederhana sekali ya.

Tak hanya memberikan Saya kesempatan untuk mengunjungi tempat-tempat yang menakjubkan ditanah kecintaan mereka, namun juga membuat Saya begitu sulit untuk tidak meninggalkan hati disana.


Bersama Bapak Tio, Mamak, Mas Iw, sekeluarga - 2016
Menggenapi janji pada co-driver, pertengahan tahun 2018 ini Saya kembali ke Sumbawa untuk 'pergi lihat Gunung Tambora'. Perjalanan yang sangat menyenangkan bersama blogger panutan Saya, Mbak Ajeng (kapankemana.net), Hilmi (muhiga.wordpress.com), dan Silvia.

Meski tidak pergi sendirian, perjalanan tersebut kembali mempertemukan Saya dengan orang-orang baru. Salah satu yang berkesan adalah perjumpaan dengan Setyo Manggut, peneliti muda asal Jakarta yang kami jumpai di basecamp Tambora. Pemahamannya mengenai Sumbawa membuat kami terkesan. Hasil pendalaman sejarah dan budaya setelah tinggal disana berbulan-bulan diceritakannya agar kami bisa mengenal Sumbawa sedikit lebih dalam. Menarik!


Kami berlima di Pulau Satonda, 2018

Dimana letak Pulau Sumbawa?

Sebelum lanjut bercerita lebih jauh, Saya ingin sedikit menunjukan lokasi Pulau Sumbawa, barangkali masih ada yang bingung membedakan Pulau Sumbawa dan Pulau Sumba. Keduanya sama-sama di Nusa Tenggara tapi lokasinya saling berjauhan. Kalau teman-teman pernah nonton film Marlina atau Pendekar Tongkat Emas, itu di Pulau Sumba (NTT). Sedangkan Pulau Sumbawa terletak di provinsi Nusa Tenggara Barat, salah satu bagian dari Kepulauan Sunda Kecil. Pulau ini bereda diantara Pulau Lombok (NTB) dan Pulau Flores (NTT). Kota terbesarnya adalah Bima yang berada di bagian timur pulau tersebut.

Source : indonesia-tourism.com

Apa yang bisa kita temukan di Pulau Sumbawa?

Dalam dunia pariwisata, eksistensi Pulau Sumbawa mungkin belum sepopuler pulau-pulau lain disekitarnya namun potensi alam yang dimiliki pasti akan membuat kita terpesona.  Pulau Kenawa, Pulau Moyo, Pulau Satonda, Gunung Tambora cobalah googling nama-nama tersebut. Sebagian dari destinasi wisata yang Saya sebutkan itu rasanya hanya akan menggambarkan secuplik dari luasnya keindahan di Pulau Sumbawa.

Budaya masyarakat Sumbawa yang unik juga memiliki daya tarik. Meski tinggal diatas satu pulau yang sama, namun masyarakat Sumbawa punya karakter dan ciri khas budaya yang beragam. Manifestasi ragam budaya tersebut bisa kita saksikan melalui bangunan, atraksi, seni, dan berbagai aktivitas masyarakat lainnya.

Selain destinasi wisata dan budaya, tiga hal lainnya yang paling terkenal dari Sumbawa adalah Kuda, Madu, dan Kopi. 


Bagaimana cara menuju Pulau Sumbawa?

Banyak moda transportasi yang dapat digunakan untuk sampai ke Pulau Sumbawa. Beberapa yang sudah pernah Saya coba adalah :
  • Bus : Merupakan alternatif transportasi yang termudah dan termurah namun membutuhkan kesabaran karena waktu tempuh yang cukup lama, sekitar 30 jam (*nangis). Dari Surabaya menuju ke Bima bisa dengan mudah dipesan diterminal Purabaya (Bungurasih). Harga tiket sekitar Rp 600.000, nama PO Tiara Mas (ada juga alternatif lainya). Menurut pengalaman, Bus ini akan melewati Sumbawa Besar, jadi jika tujuan kita tidak sampai ke Bima harga bisa lebih murah. Tetapi, jika tujuan kita lebih jauh dari Bima (misalnya : Dompu, Sape, atau lanjut ke Flores) maka kita harus ganti dan melanjutkan perjalanan dengan bus yang lebih kecil. Tarif bus Bima - Sape mulai dari Rp 25.000, sedangkan Bima - Dompu mulai Rp 70.000 (sampai ke desa Pancasila, gerbang pendakian Gunung Tambora).
  • Kapal Ferry : Jika lokasi keberangkatan lebih dekat, misalnya dari Lombok, kita bisa sampai di Pulau Sumbawa dengan naik kapal. Saya pernah coba naik kapal dari Pelabuhan Kayangan (Pulau Lombok) menuju ke Pelabuhan Poto Tano (Pulau Sumbawa). Perjalanan ditempuh selama kurang lebih 2 jam dengan tarif Rp 20.000 (jika belum berubah). Sekitar 6 kali naik, kapalnya selalu bersih dan nyaman. Informasi selengkapnya bisa kalian dapatkan di website ASDP berikut : www.indonesiaferry.co.id 
  • Pesawat : Apabila waktu kita terbatas, maka pesawat adalah pilihan transportasi yang sangat tepat. Tidak ada direct flight dari Surabaya ataupun Jakarta ke Sumbawa sehingga kita harus transit via Lombok atau Bali. Ada 2 bandara di Pulau Sumbawa, letaknya di Sumbawa Besar (SWQ) dan di Bima (BMU). Pastikan bandara yang dipilih lokasinya lebih dekat dengan destinasi tujuan. Estimasi harga tiket dari Lombok ke SWQ/BMU mulai sekitar Rp 300.000 (sesuai pengalaman).
  • Sewa Kendaraan : Ketiga pilihan diatas mungkin kurang nyaman untuk bepergian bersama rombongan atau keluarga, maka kita bisa juga menyewa kendaraan pribadi lengkap dengan pengendaranya. Saya pernah menggunakan jasa sewa kendaraan dengan harga dan pelayanan yang baik, berikut kontaknya : Mulya Rentcar.
Salah satu maskapai yang menyediakan rute Lombok - Sumbawa

Akomodasi di Pulau Sumbawa?

Sejauh perjalanan ke Pulau Sumbawa, Saya belum pernah menginap di hotel. Saya pernah bermalam di warung pinggir terminal (parah), menginap di rumah penduduk lokal (Bapak Tio), dan satu-satunya penginapan berbayar yang pernah Saya singgahi hanyalah basecamp Tambora (akan saya ceritakan pada part berikutnya). Namun tenang saja, banyak hotel maupun penginapan yang backpacker-friendly disana.

Waktu terbaik berkunjung ke Pulau Sumbawa

Sumbawa memiliki banyak savana, pulau cantik, pantai, serta gunung. Saya pribadi lebih suka menikmati itu semua pada musim panas, sekitar bulan Juni hingga September. Ada juga yang lebih suka mengunjungi pulau ini sesaat setelah musim hujan berakhir karena padang savana dan beberapa bukitnya terlihat lebih hijau. Namun, saran bagi pendaki yang bertujuan ke Gurung Tambora, sebaiknya hindari pendakian saat musim hujan demi keamanan dan kenyamanan.

Amankah pergi sendirian ke Sumbawa?

Berdasarkan pengalaman Saya, Sumbawa cukup aman bagi solo-traveller. Namun, mempelajari dan mempersiapkan diri terhadap segala sesuatu yang akan kita hadapi merupakan upaya terbaik yang bisa dilakukan sebelum bepergian. Pesan Bapak Tio, "... dimanapun di dunia ini akan semakin jahat. Bukan berarti harus takut, tetapi harus lebih waspada kemanapun kita melangkah .."

Begitulah kira-kira :)


Masih ada banyak cerita dari Barat Nusa Tenggara yang ingin Saya bagikan. Tentang Pulau-pulau yang rasanya seperti milik sendiri, juga tentang gagahnya Gunung Tambora yang letusannya berdampak pada sejarah dunia. Tunggu bagian berikutnya ya!

Terima kasih sudah membaca ♥
Share
Tweet
Pin
Share
No comments



Food becomes a part of travel, even when you least expect it ~
katanya sih gitu. Bagi sebagian orang memang belum lengkap rasanya travelling tanpa mencoba kuliner baru. Bahkan banyak juga yang tujuan perjalanannya justru culinary tourism.


Saya (belum) termasuk aliran itu. Meskipun bantet begini, sebenarnya dari kecil Saya nggak terlalu hobi makan. Tapi lain cerita kalau lagi travelling atau diajakin teman, mau makan apapun - dimanapun - kapanpun jadi lebih easy-going.


Ngomong-omong soal makan, mayoritas masyarakat Nepal beragama hindu, sama seperti di Bali. Mengonsumsi daging Sapi merupakan hal terlarang, sebagai pengganti, mereka makan daging kerbau (buff), ayam, pork, atau kadang ikan. Bagi teman-teman yang tidak makan pork, perlu lebih aware karena tidak ada keterangan kecuali kita bertanya. Opsi paling aman, dihampir seluruh tempat makan selalu menyediakan berbagai olahan sayur dengan bumbu kari.


Nah, selama perjalanan di Nepal ada banyak makanan yang Saya coba. Beberapa makanan khas, yang lainnya mungkin biasa ditemukan dimana saja. Sebagian enak, tapi ada juga yang sekedar nice-to-have. Inilah daftarnya :


Momo

Ini adalah makanan pembuka yang pertama kali Saya coba setelah tiba di Nepal. Referensi blog dan artikel manapun hampir tidak pernah absen mention makanan tradisional yang mirip Dimsum atau Siomay versi Nepal. Tampilannya sangat menarik. Kita bisa memilih Momo dengan isian daging buff, ayam, atau vegetarian lengkap disiram bumbu kari sebagai saus pendamping. Porsinya terlihat tidak begitu besar, tapi ternyata sangat kenyang. Perpaduan rasa kari dan rempah pada bagian dagingnya sangat kuat. Rempah juga menimbulkan rasa hangat yang pas untuk menghadapi suhu 5 derajat sore itu.

Proses pembuatan Momo


Menurut Ram Chandra, kedai yang menyediakan Momo paling juara ada di kawasan Dharahara, sekitar 15 menit dari Thamel dengan menggunakan taksi. Harganya NPR 90 - 150 per porsi. Untuk mencicipi Momo di kedai tersebut, kita perlu bersabar karena antriannya cukup panjang.


Dal Bhat

Suapan pertama saat mencicipi Dal Bhat, seketika mengingatkan Saya pada Nasi Padang. Namun bedanya bumbu rempah dan kari yang digunakan sangat kuat, khas masakan Nepal. Makanan ini sangat mudah ditemukan diberbagai tempat di Nepal, termasuk saat pendakian ke ABC.

Dal Bhat biasanya disajikan pada loyang besi yang diatasnya tertata rapi nasi, beberapa jenis sayur bumbu kari, sambal (Saya lupa sebutannya), dilengkapi lauk berupa ikan atau udang. Satu porsi Dal Bhat dapat dimakan untuk tiga orang seukuran Saya. Overall, rasanya bisa diterima. Satu-satunya masalah adalah Saya tidak suka nasi.




Dal Bhat Power!
Salah satu kedai Dal Bhat paling ramai di Thamel

Kathmandu Burger

Selama 10 hari di Nepal, ini adalah makanan yang paling sering Saya beli karena suka bangeeeeeet. Tastiest burger I've ever eaten. Sayang penampakan burgernya lupa difoto. Menu yang selalu Saya beli adalah Kathmandu Special Burger harganya NPR 280, atau sekitar 35 ribu rupiah. Lebih mahal memang dari harga seporsi Dal Bat, tapi worth it dengan tumpukan roti, buff ham, chicken, double chesee, sayur, dan bumbu yang supeeeer enak dan tebal!

Kedai kecil ini bisa ditemukan di kawasan Thamel, tidak terlalu jauh dari jalan besar sejajar dengan store The North Face. Selain rasa, pelayanan kedai ini juga sangat menyenangkan. Ah, jadi pengen ke Nepal lagi untuk sekedar beli burger.


Makanan favorit selama di Nepal

Susu Kerbau (Buff) & Chura

Dalam perjalanan dari Pokkhara menuju Kimche, Saya kelaparan karena belum sempat sarapan. Saat itu Saya minta pada driver taksi untuk mencari tempat makan apapun yang bisa kami temukan. Tidak mudah menemukan tempat makan saat menyusuri kaki gunung yang berkelok tersebut sampai akhirnya kami berhenti di sebuah rumah kecil. Kata driver taksi, rumah tersebut menjual Susu Kerbau murni yang enak sekali rasanya. Namun sepertinya Saya tidak akan menemukan banyak pilihan makanan.

 

So, Saya membeli segelas susu. Mencoba merasakan susu kerbau pertama kalinya dan ternyata rasanya enak meski tanpa gula sekalipun. Karena masih lapar, Saya minta pada penjualnya menyediakan makanan untuk breakfast. Penjual itu memberikan sepiring sayur dan semacam oatmeal yang ternyata flattened rice. Belakangan Saya tahu, nama makanan itu adalah Chura. Kombinasi makanan yang agak aneh rasanya, tapi tetap Saya habiskan demi pendakian. Untuk segelas susu dan Chura harganya NPR 150.

Chura - Vegetable
Susu Kerbau Murni

Buff Sekuwa

Bentuknya seperti sate tanpa bumbu kacang. Menggunakan daging kerbau membuat teksurnya lebih keras. Tapi bumbu sederhana yang meresap rata sampai kedalam membuat rasa Sekuwa ini lezat. Saya membelinya disekitar Phewa Lake, Phokkara pada malam hari yang dingin. Hanya semacam PKL tanpa kedai dipinggir jalan namun suasananya cukup nyaman. Harga 1 tusuk Sekuwa sekitar NPR 40.



Gurung Bread & Masala Tea

Penyuka Roti Maryam atau Roti Canai mungkin akan terkarik untuk mencoba makanan yang satu ini. Menurut Saya, ini lebih seperti pancake dengan adonan mirip kulit pisang goreng. Di ABC, Roti Gurung biasanya disajikan dengan topping madu atau omellete. Tapi karena adonan roti yang agak manis, partner terbaiknya adalah madu dan secangkir teh herbal ala Nepal, Masala Tea. Sejauh perjalanan, Gurung Bread adalah menu yang posrinya paling pas dengan ukuran perut Saya. Tidak terlalu sedikit dan tidak over seperti porsi makanan lainnya.

Foto ini diambil dari inotherpartsoftheworld.com

Sugar Mama Chhomrong - Best Chocolate Cake

Dari keseluruhan rute pendakian ABC, melewati Chhomrong adalah salah satu ujian terberat. Tapi dibalik ribuan tangga yang melelahkan, ada satu harta karun manis yang tersimpan. Herwian, salah satu teman blogger merekomendasikan kue ini untuk dicoba saat pendakian menuju ABC. Menurutnya, ini adalah sweetest temptation selama pendakian.

Bahkan salah satu artikel dalam majalah Times pernah menuliskan : " .. has become a legend for the magnanimous slices of warm, brownie-like chocolate cake she serves weary hikers going up to or coming down from base camp". Harga satu slice cake chocolate sekitar NPR 200. Mahal tapi worth it kok. Ada beberapa toko kue di Chhomrong, namun yang paling enak adalah Sugar Mama di Chhomrong Cottage. Kalian harus coba!


Sugar Mama ada di Cottage ini. Gambar ini diambil dari tripadvisor.

Menu Mevvah selama di Gunung

Berbeda dengan pendakian yang pernah Saya lakukan di Indonesia, selama pendakian di ABC makanan lebih terasa seperti di cafe daripada di gunung. FYI, semakin tinggi, harga makanan semakin mahal. Tapi tenang, porsi makanan sebenarnya sangat besar dan cukup untuk 2 kali makan. Kadang untuk mengakali, Saya membeli makanan yang bisa dibungkus untuk dimakan pada pemberhentian berikutnya.

Diantara semua makanan, yang paling bermanfaat membantu daya tahan adalah Garlic Soup (murah lagi :p). Sedangkan yang paling enaaaak adalah Tuna Pizza yang ditraktir sama Dave (mungkin karena gratis ya). Range harga makanan sekitar NPR 250 - 500 tergantung menunya.







Sebagai penutup, Saya ingin merekomendasikan makanan ringan murahan tapi Saya jamin kalian pasti ketagihan. Dan makanan itu adalaaaah ..... PRAW!




Saya agak menyesal kenapa nggak bawa pulang ke Indonesia. Harganya cuma NPR 20 per bungkus. Keripik kentang renyah dengan bumbu khas kari Nepal yang agak pedas tapi ... ah pokoknya enak!

Oiyaa, ada satu lagi makanan yang berkesan selama perjalanan. Rasanya nggak adil kalau tidak diceritakan. (Ini terakhir, janji)




Adalah sebungkus Nasi Lemak yang dibelikan Bapak dan keluarga Ami di Malaysia. Keluarga yang sama sekali tidak Saya kenal tapi baik hati sekali mau "menampung" saat transit selama 24 jam setelah kembali dari Nepal. Makanan yang bukan cuma rasa masakannya saja yang enak, tapi juga mampu membuat Saya merasakan kebaikan dan ketulusan orang lain :)

PS :

Terima kasih sudah membaca!


Share
Tweet
Pin
Share
11 comments
Older Posts

About me

About Me

Free Individual Traveller. Not a good writer, yet a story teller.

Sketching @_proyeksampingan |a Part of @Tukar_Cerita (Podcast)

Follow Me

  • Podcast
  • Instagram
  • Facebook
  • Soundcloud
  • Google +

recent posts

Blog Archive

Facebook Twitter Instagram Soundcloud


FOLLOW ME @INSTAGRAM



Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates